On The Night Like This-Mocca

Jumat, 07 Oktober 2011

| | | 0 komentar

On the night like this,
There so many things I wanna tell you
On the night like this,
There so many things I wanna show you
Cause when you're around
I can feel safe and warm
Cause when you're around
I can fall in love everyday
In the case like this
There are thousand good reasons
I want you to stay

(On The Night Like This-Mocca)

Social Act

Rabu, 05 Oktober 2011

| | | 0 komentar
I have just back from my Social Act at Cijeruk, Bogor after stayed there for 4 days, from September,29 until October, 2 2011. Well, it is not a far different with "live in" when i was tenth grade of SMA, but I think, I learnt and got much more thing from this event. I won't tell the detail of what I'd done there in this posting. I just wanna share about what I've gotten.

Di hari pertama, saat maba putra melakukan shalat Jumat, maba putri diperbolehkan pulang ke homestay masing-masing. Lapar, begitu sampai rumah homestay aku langsung masak mie, untukku dan juga lainnya. Karena masaknya agak lama, aku dan Debora sambil ngobrol dengan Bu Marni, orang tuaku disini. Sementara lainnya di ruang tamu depan atau entah kemana.

Obrolan sekitar 15 menit ini biasa sebenarnya. Cerita keluarga, pekerjaan sehari-hari, bagaimana warga di sini, di mana sekolah, di mana pasar, di mana puskesmas, dan lainnya. Pertanyaan-pertanyaan yang wajar bagi kita yang biasa hidup di kota dengan segala kemudahan akses. Tetapi, jawaban Bu Marni benar-benar membuat prihatin.


"Ibu buruh tani, Bapak juga. Tapi beda tempat"
"Oh, kalau buruh gitu tanahnya bukan punya sendiri ya Bu?"

"Punya orang. Ibu mah gak punya apa-apa"

"Terus Bu, kalau kerja biasanya dari jam berapa sampai jam berapa?

"Ibu si biasanya dari jam 8 sampai jam 4 sore. Kalau bapak bisa sampai malem"

"Maaf bu, kalau boleh tau kerja sehari dapat berapa Bu?"

"Alhamdulillah, Ibu 8000 biasanya, kalau Bapak 20000"


"Oh, sekolah jauh, Neng. Yang sekolah biasanya yang punya motor. Ini anak-anak pada ngaji aja di pesantren Haji X"

Kebetulan Bu Umar punya Cucu, Yus.
"Itu Yus sekolah juga kan Bu? Gimana berangkatnya?"
"Itu pagi-pagi jam 5 berangkat, jalan. Tapi sampai SD aja, nanti juga SMP gak lanjut"

"Loh kenapa, Bu?"

"SMP mahal, Neng. Masuk aja bayar 250.000"

"Bukannya gratis Bu? SMP Negeri udah gratis Bu, ini dari pemerintah"

"Ndak tahu ibu. Kata orang bayar aja gitu."



"Kalau sakit, periksa di mana Bu?"
"Di Bidan biasanya, tapi ini bidannya lagi kuliah jadi tutup. Ibu aja kemarin jatuh ini belum periksa" Dan ibunya ngliatin kepalanya, benjol di bagian belakang, agak biru ungu.
"Enggak diperiksain aja Bu?"
"Enggak, Ibu mah tidur aja kalo pusing. Ini seminggu juga udah enggak kerja"

"Kalau puskesmas atau dokter, Bu?"

"Jauh, naik ojek dulu lanjut angkot. Bolak-balik aja kalo dua orang udah habis neng uangnya"

"Memang, periksa di bidan bayar berapa Bu?"
"5000 udah sama obat, neng."

Aku jadi ingat,
"Alhamdulillah, Ibu 8000 biasanya, kalau Bapak 20000"
"Gue dijatah sehari makan 30000. Sedih deh"


Masih banyak yang di bawah dan berkata "Alhamdulillah". Kalau aku yang ngomong kalimat kedua, aku malu denger ibunya ngomong kayak gitu. Mereka tiap hari berhadapan dengan keterbatasan, yang bukan karena dibatasi, tapi karena memang tak bisa lebih. Kita sempat ngobrol soal keinginan yang belum diwujudkan, dan Bu Marni terdiam dulu sebelum akhirnya menjawab memperbaiki rumah. Mereka yang terbiasa dalam keterbatasan, sepertinya terbiasa pula membatasi keinginan mereka bahkan melupakannya. Tetapi kita yang cukup, bukannya merasa puas, justru semakin dibayangi tambahan keinginan. Dari sini, aku belajar: pertama, soal rasa syukur; kedua, kunci kecukupan adalah penerimaan oleh diri kita sendiri.

Waktu aku sharing sama temenku yang lain, ternyata ada dari mereka yang punya cerita lebih memprihatinkan. Ceritanya, di rumah homestay temenku ada anak kecil, nah anak ini sakit. Dibawalah berobat ke bidan dan dikasih obat dalam plastik. Beberapa hari kemudian badan anak ini biru-biru. Sepertinya karena kebocoran pada plastik pembungkus obat.Ini masalah kesehatan. Ini Bogor, dan seperti ini. Kota kecil? Luar jawa? Pulau-pulau? Perbatasan? Masih seperti ini, Indonesia kita.
Saat kak Irvan orasi, "Apa yang bisa kalian lakukan untuk negeri ini?"

Rasanya seperti ada tuntutan dari masyarakat. Beban pertanggungjawaban.
Kita mahasiswa, dan berkesempatan lebih dari mereka. Lalu apa gunanya kalau hanya jadi menara? Tujuan utama belajar adalah pengabdian, dan itu yang masyarakat harapkan dari kita.
Ayo berbagi dan berkontribusi dari sekarang. Mulai peduli dengan sekitar.
Ada kata-kata Bu Umar yang benar-benar dalem,

"Neng, kalau nggak tugas nggak ke sini ya?"


Selama ini, mungkin begitu image masyarakat desa tentang kita yang dari kota. Para pemimpin hanya datang saat pemilu dan tak peduli lagi. Apapun kita nanti, jangan semakin memperlebar gap itu. Mereka rakyat, kita rakyat.