Sepulang dari Rumpin

Minggu, 02 Maret 2014

| | | 0 komentar
Sepulang dari Rumpin
Kereta Cisauk-Tanah Abang

Perutku sakit. Sakit. Sakit. Sakit. Kakak lain sudah terlelap dalam tidur siang mereka, dan Tuhan, menjaga sakit perut dalam posisi duduk tanpa menunjukkan ekspresi apapun rasanya hampir gila. Bahkan menahan sakit saat mengajar tadi tidak sefrustating ini. Tidak ada pilihan lain, aku harus turun di Tanah Abang. Turun di stasiun sebelumnya akan membuat jam pulangku mundur dua jam.

Aku coba berkonsentrasi pada sekelilingku. Membaca peta kereta, membaca larangan makan, membaca iklan mie sedap, menghitung bangku kosong, menghitung jumlah gantungan, mengomentari baju setiap penumpang. God, it doesn't work at all.


"Stasiun Pondok Ranji"

Sepertinya aku mulai membuat gerakan aneh atas akibat sakit perutku. Untungnya gerbong wanita ini cukup lengang dan masing-masing sibuk dengan gadget mereka. Sama, aku juga terlihat memegang tab dengan muka cukup serius. You don't say.

Ini bukan yang paling gila sebenarnya. Paling sakit ketika di Garut. Singkatnya, Aku dan Agnes 'harus' mengikuti penelitian dekanat, sebut saja Participatory Rural Assesment (PRA). PRA mengharuskan kita tiap akhir minggu tinggal di sana, membaur dengan warga, mengobrol, atau apapun dan itu mengharuskan kita seramah mungkin. Masalahnya, aku sakit gigi! Tanpa obat dan harus tersenyum mengobrol dengan orang-orang. It feels like dead

Di rumah pun ada Bu Sujanti dan Pak Jossy yang menunggu cerita. Akhirmya berakhir bahagia sih, mukaku mungkin sudah bertekuk tidak karuan sampai akhirnya aku dibelikan puyer sakit gigi di warung dan diberi air rebusan sirih. Tapi tetap saja, itu setelah semalam aku tidak bisa tidur dan dengan gila makan sesisir pisang.

Oh, ada lagi sih yang sakit. Waktu mau ke rumah Billal buat ambil foto buat bikin scrapbook. Jatuh dari motor, lututku sobek. Gabisa bilang sama orang rumah, ketahuan nanti aku bukannya kelas tambahan malah main ke rumah orang. Jadilah aku pulang dengan biasa aja. Act like nothing happen.

Masalahnya aku harus shalat dan sobek di lutut ini rasanya bikin selangkah deket sama akhirat. Gimana enggak, sujud tumpuannya di lutut. Dua kali tiap rakaat, belum dari duduk ke berdirinya. Tiap abis shalat aku terkapar sambil nangis-nangis. Hikmahnya, mama pikir aku berdoa sangat serius buat masuk kuliah.

Akhirnya ketahuan sih, gara-gara ujian praktek seni tari. Pake legging, dan leggingnya nempel di luka. Udah ga tahan lagi ga berani di tarik juga, eh kebetulan kamar dibuka. Ya sudah, udah ga perlu ditutupin, boleh pake celana pendek lagi, shalatnya sambil duduk. Dan yey sembuh.

"Stasiun Tanah Abang"

God, Thanks, Finally.... tinggal Tanah Abang-UI

Tak Teraba (2)

Sabtu, 01 Maret 2014

| | | 0 komentar
Ada yang berkata sajak adalah doa 
Meski yang dituju belum tentu
Ia mengalir dalam riak putaran waktu
dan kembali saat logika sudah tuli
memampatkan nafas yang terbuai
mencipta ironi yang berderu
seketika semua benderang
Terima kasih
Terima kasih telah menjadi yang Tak Teraba

Terima kasih pada rasa yang tak teraba
Tentang rindu yang selalu melambungkanku
Terima kasih pada kata yang tak terbata
Tentang rasa yang tak terungkap olehku olehmu
Meski telah sama-sama tahu maksud kita
Terima kasih pada sajak yang tak terbaca
Tentang kepingan kisah kronologi tentangmu
Meski sebenarnya kita tahu serpihan itu
Terima kasih pada suara yang parau
Yang tak mampu keluarkan sendu
Lantas kau dan aku membisu
Terselip akan rasa-rasa yang tak teraba dan terbata
Maka, usah kita panjang ini pilu
Karena aku sudah bertutur semua padamu
Dan memang seharusnya hanya kau dan aku yang tahu
Selasa, 7 September 2010 15.10