Ayah

Jumat, 03 Februari 2012

| | |
Meski aku jarang menceritakannya, ayahku adalah laki-laki yang aku idolakan sejak kecil dulu. Entah faktor aku anak tunggal, atau ayahku memang sedemikian penyayang, yang jelas aku merasa sangat bersyukur mendapat limpahan kasih sayang itu.

Waktu aku kecil, ayahku bekerja di luar pulau, Kalimantan tepatnya. Beliau pulang paling 2-3 bulan sekali ke Semarang. Setiap pulang, ayahku selalu membawa coklat banyak sekali. Untukku, tentu saja.

Dulu, setiap pagi, aku selalu jalan-jalan dengan ayahku. Ke sungai, ke pasar, ke lapangan, ke tetangga, kemana saja. Pasti, sebelum kembali ke rumah kami mampir ke kios koran dan membeli Jawa Pos. Kebetulan, kios koran itu terletak di depan toko kelontong "Pena". Dan setiap pagi pula, aku bertanya, "Pa, ini isinya apa?" sambil menunjuk box Walls, seolah tidak tahu. Lalu ayahku akan menggendongku, memintaku memilih, dan membelikan es krim untukku. Kalau jalan-jalannya ke pasar, langganan kami adalah pukis dan gandos.

Saat aku masih kecil, ibuku masih menyelesaikan S1 nya. Praktis, sering ayah yang menemaniku tidur. Sebelum tidur, beliau selalu menceritakan berbagai cerita. Cerita nabi, abu nawas, atau karangan ayahku sendiri, sampai aku tidur. Setiap hari, selama ayahku di Semarang.

Begitu pindah kerja ke Semarang, jam kerja ayah dibagi menjadi pagi dan siang. Pagi: 4-16, siang: 12-00. Tapi seingatku, selalu ada waktu untukku. Mengajariku atau menemaniku.
Aku masih ingat, dulu ayah sering membuatkanku benda-benda unik dari logam. Gantungan kunci dengan lubang berbentuk LITA, ada juga bintang-bintang. Bintang ini akan aku dapatkan setiap aku dapat nilai 100. 10 bintang bisa ditukar dengan 1 permintaan.

Waktu cari SMP, saat-saat ribet dengan segala urusan berkas, ayah menguruskan segalanya untukku. Mencari informasi, mendorongku, mengantarkanku, menunggu, dan lainnya sampai akhirnya semua urusanku beres. Sampai saat ini pun, jika mendadak aku memerlukan sesuatu, dokumen atau apapun itu, ayah selalu punya waktu dan mau repot untuk mengurusnya.

Di SMA, saat-saat aku ada les, pulang terlambat, terlalu malam, atau bahkan pagi seperti saat pensaga, ayah selalu mau menjemputku. Setiap saat les musik, ayah menungguku 2 jam. Meski sudah kubilang aku bisa pulang sendiri, ayah bilang tidak akan membiarkan putrinya ini kecapaian. Dan memang ayah selalu menunggu. Ayahku bahkan tak membiarkanku menunggu. Beliau selalu datang sebelum aku selesai. Walaupun malam, walaupun beliau harus memakai jaket berlapis, ayah selalu menawarkan menjemputku.

Kalau aku begadang mengerjakan tugas, ayah juga menemaniku terjaga. Padahal dari menguapnya yang berkali-kali, aku tahu beliau hanya alasan saat mengatakan mau menonton televisi. Pernah suatu kali aku sangat putus asa, tugas menggambar karikaturku yang hampir jadi sobek karena kerasnya aku menghapus. Ayah langsung menawarkan, "Udah, Lita tidur aja sekarang. Besok kan harus sekolah. Ini biar Papa yang gambar."
Padahal beliau juga kerja seharian dan belum tidur.

Suatu waktu aku ingin bersepeda ke Simpang Lima. Sepeda kami hanya satu dan ayah tak membiarkanku pergi sendiri. Akhirnya, pagi-pagi buta, aku naik sepeda, ayah mengiringiku dengan sepeda motor pelan-pelan. Saat pulang pun, ayah mengiringiku menaiki tanjakan maut gajah mungkur dan gombel.

Ayah adalah guru bagiku. Yang mengajariku berenang, mengajariku sepeda, mengajariku motor, mengajariku mobil, dan hal lainnya. Ayah yang menghibur dan menyemangatiku kalau aku down, menenangkan kalau aku galau sendiri. Bagaimanapun, beliau juga yang mengajariku untuk mandiri. Melepaskanku pulang sendiri sejak SD, membolehkanku ke luar kota sendiri sejak SMP, dan membebaskanku ikut organisasi maupun ekstrakurikuler selama itu positif.

Aku tahu, pengalaman ayah pasti jauh lebih banyak dariku dan ayahku ingin anaknya tidak salah dalam melangkah dan selalu mendapat yang terbaik.

Aku sayang Ayah, sangat :*

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Aku pun ingin menjadi ayah yang diidolakan anaknya, jadi kebanggaan,pelindung, pendidik keluarga...:)

Posting Komentar